Family Trip (Jelajah Kuburan)

2 Minggu sebelum lebaran..

Terjadilan percakapan ganjil antara ibu dan anak yang sama-sama sedang “Galau”
Anak      :               Enaknya lebaran kali ini kita masak apa bu?
Ibu         :               Pokoknya ibu nggak mau capek, ibu mau mogok aja lebaran nanti.
Anak      :               Mogok kenapa bu? Emangnya kesusahan nyari solar sampe mogok?
Ibu         :               Mogok jadi kuli kalian..anak2 nggak tahu diri, ibu sudah tua masih disuruh masak buat lebaran. Sekali sekali ibu ingin berlibur kayak orang Jakarta, lebaran main ketempat wisata.
Anak      :               Emangnya mau wisata kemana bu?
Ibu         :               Jalan-jalan ke kuburan..
Anak      :               ???

Perjalanan ini adalah 100 % idenya ibuku. Ibuku si ratu jalan memang nggak bisa lama duduk manis di rumah. Badannya pasti sakit-sakit, asam uratnya kumat dan matanya mendadak jadi rabun.  

Rencananya adalah kami akan melakukan perjalanan ziarah kebeberapa makam dimulai dari makam Nenekku di Sampit, dilanjutkan makam Bapakku di Palangkaraya terus ke Banjarmasin ke makam Kakekku dan terakhir ke Pelampaian dan Martapura ke Makam Syekh Muhammad Arsyad dan Guru Ijai.

Persiapan perjalanan panjang ini tidak begitu ribet, aku tidak perlu riset dan sebagainya karena aku membawa tanteku yang kami anggap sebagai peta berjalan karena beliau sudah familiar dengan wilayah Banjarmasin dan sekitarnya sedangkan aku menguasai wilayah Palangkaraya. Mobil telah di check dan full bahan bakar, drivernya sudah ada anak gaul Andre sepupuku. Tapi mobilku kotor sekali penuh dengan debu dan kotor didalam dan diluar, Andre berkeliling  Sampit mencari tempat pencucian mobil tidak ada yang buka karena hari itu adalah H-1 sebelum lebaran. Rombongan peziarah galau ini ada aku, ibuku, Nek Tie, Nada ponakanku dan Andre. Akhirnya dengan mobil super kotor kami berangkat tujuan pertama adalah makam keluargaku yang terletak di pusat kota sampit. Komplek makam ini di kelilingin bangunan rumah dan dekat sekali dengan pasar otomatis kondisinya terlihat kumuh dan krowdit. 

Sepertinya sudah menjadi tradisi berziarah ke makam keluarga pada saat menjelang atau sesudah lebaran. Tetapi kondisi makan keluargaku sepertinya masih normal-normal saja tidak terlihat bunga-bunga bekas peziarah dan juga aku tidak menjumpai orang lain di sekitar makam…sepi-sepi saja.
Makam Nenek





Makam Keluarga


Makam keluarga ini dipisahkan dengan pagar kayu tinggi yang mengililingi beberapa makam dan pada pintunya bertuliskan “ Makam Keluarga Marham dan Imuh”. Aku mengenal sebagian nama-nama yang tertulis di Nisan, tetapi sebagian lainnya aku tidak kenal terutama Ninik Datuk yang sudah tidak ada sejak aku sebelum dilahirkan. Mereka semua mempunyai cerita sendiri-sendiri. Kadang terpikirkan olehku bagaimana perempuan-perempuan seperti nenekku yang mempunyai anak banyak, nenekku punya anak 11 orang dan konon juga ada yang meninggal entah berapa orang. Bagaimana riuhnya rumah panjang kakek buyutku yang dihuni oleh beberapa keluarga yang mempunyai anak belasan orang, kalau disuruh berbaris pasti akan panjang seperti pasukan serdadu kecil-kecil. Ibuku sering bercerita kalau masa kecilnya tidak mudah. Baju seragam sekolah dipakai bergantian dengan adek atau kakaknya. Tidur bertumpuk-tumpuk diatas kasur yang digelar dan diberi kelambu. Apabila ada anak yang berkelahi saat mau tidur maka keduanya dikeluarkan dari kelambu dan di suruh tidur diteras rumah. Berebut mainan atau makanan adalah kejadian sehari-hari. Kalau mau makan si Kakak menumbuk padi dan anak yang lain memancing ikan di sungai untuk lauknya. Orangtua tugasnya hanya melahirkan anak terus terusan tanpa repot-repot mengasuh dan memberinya makanan, karena kakak tertua bertugas untuk menjaga adik-adiknya. Belum lagi ada anggota tambahan dirumah panjang itu, orang-orang gila yang menjadi pasien dari kakek buyutku yang terkenal bisa menyembuhkan orang yang sakit jiwa. Jadi lengkaplah kehidupan komunitas rumah panjang itu, padat, rusuh, melarat dan gila.

Setelah selesai membaca surah Yassin dan doa untuk Nenekku, kamipun melanjutkan perjalanan ke Palangkaraya. Bepergian bersama ibuku agak-agak ribet dan kurang praktis. Semua barang yang masih bisa masuk di mobil dibawa. Dari Bantal dan guling, 1 toples besar emping dan kacang mete, beberapa tas pakaian jadinya mobil penuh sesak seperti orang mau mengungsi padahal hanya untuk perjalanan 3 hari. Tips traveling yang praktis tidak dianut oleh ibuku. Adanya semakin ribet semakin bagus hahahaha.
Sore harinya kami sudah sampai di Palangkaraya dan disambut oleh lebatnya hujan. Sudah lama tidak turun hujan jadi suasananya sangat menyejukkan. Kami langsung menuju Hotel Avicenna di Jalan Rajawali. Hotel ini dirokemendasikan oleh beberapa orang konon katanya hotel ini bersih,nyaman dan yang paling oke adalah taripnya bersahabat. Aku penasaran jadi ingin membuktikan kesaksian mereka. Pertama kali aku liat adalah tempat parkir untuk mobil, cukup aman didalam area hotel dan berpagar besi. Kebetulan hari ini adalah sabtu dan pihak hotel memberikan harga diskon untuk weekend dari harga normal Rp. 280,000,- menjadi Rp. 180,000 untuk kamar standard dengan fasilitas : twin bed, AC, TV, hot & cold water dan kamar mandi tetapi tidak termasuk breakfast. Sebelum melakukan pembayaran aku mengecek dulu kondisi kamarnya, memang benar rekomendasi teman-temanku kamarnya bersih dan wangi karena dilengkapi dengan parfum yang otomatis akan menyemprot sendiri setiap beberapa menit. Aku membayar 2 kamar untuk 1 malam.
Sore harinya kami berkeliling kota Palangkaraya, hujan masih juga mengguyur bumi dengan derasnya. Sebentar lagi saatnya berbuka puasa, sudah berapa jalan kami lalui tetapi belum juga menemukan warung makan yang buka. 

Akhirnya kami menuju kompleks warung tenda di Jalan Yos Sudarso. Pada hari biasa warung tenda terlihat bersusun sepanjang jalan, tetapi sekarang menjelang malam lebaran hanya beberapa warung yang buka. Hujan lebat, diwarung tenda yang setengah banjir dan menu buka puasa seadanya menjadi sesuatu disaat menikmatinya bersama ibu tercinta.


Komentar